PALANGKA RAYA-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mengidentifikasi dua daerah aliran sungai (DAS) paling kritis akibat tingginya aktivitas sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Khusus untuk sektor pertambangan, dalam ketentuan izin pinjam pakai kawasan hutan yang didapat, diwajibkan melakukan upaya-upaya restorasi, reklamasi, dan rehabilitasi. Salah satunya DAS di sekitar lahan perusahaan.
“Demikian juga untuk perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan. Perkebunan sawit yang dalam pelepasan kawasan hutan itu punya kewajiban untuk melakukan rehabilitasi DAS,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata kepada Kalteng Pos.
Rehabilitasi DAS merupakan upaya penanaman di dalam dan di luar kawasan hutan yang merupakan salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dan pemegang keputusan menteri terkait pelepasan kawasan hutan akibat tukar-menukar kawasan hutan, sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi DAS.
Menurut Bayu, masih cukup banyak perusahaan di sektor pertambangan ataupun perkebunan yang belum menjalankan kewajiban merehabilitasi DAS. Hal itu bisa dilihat dari luasan rehabilitasi DAS yang seharusnya dilakukan saat ini, masih terbilang kecil.
“Dari kegiatan rehabilitasi DAS yang dilakukan pun kami lihat belum tepat sasaran, karena seharusnya rehabilitasi DAS itu menjadi prioritas di wilayah yang diidentifikasi menjadi lahan kritis, itulah yang harus direhab dahulu,” sambungnya.
Tak hanya itu, Bayu menyebut upaya-upaya yang harus dilakukan dengan merehabilitasi DAS atau melakukan reklamasi itu juga masih banyak yang belum dilakukan. Hal ini berpengaruh besar terhadap fungsi DAS di Kalteng.
“Kalau kita identifikasi, dua DAS di Kalteng yang paling kritis adalah DAS Kahayan dan DAS Barito, dua DAS itu didominasi oleh aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan besar kelapa sawit,” tuturnya.
Kegiatan ekstraksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit, tutur Bayu, memperparah kerusakan di DAS. Dari kondisi itu dapat dilihat bahwa upaya rehabilitasi atau pemulihan fungsi DAS masih tidak sebanding dengan aktivitas eksploitasi SDA yang dilakukan.
“Upaya rehabilitasi DAS dan aktivitas ekstraksi seperti pembukaan hutan oleh sektor-sektor pertambangan dan perkebunan belum seimbang,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kegiatan rehabilitasi DAS oleh perusahaan-perusahaan juga tidak dilakukan secara menyeluruh. Sebab, perusahaan-perusahaan hanya berfokus pada capaian penanaman. Bibit pohon diberikan kepada masyarakat, tetapi tidak ditentukan di mana tempat menanam yang tepat, serta tidak dilakukan pemeliharaan rutin terhadap bibit yang sudah ditanam.
“Jadi ada satu wilayah yang dikerjasamakan oleh pemerintah dengan warga desa, tetapi hanya memberikan bibit, tidak dipastikan proses rehab DAS berhasil atau tidak,” tandasnya.
Direktur Save Our Borneo (SOB), Muhammad Habibie berpendapat, rusaknya fungsi DAS berbanding lurus dengan intensitas bencana banjir yang melanda Kalteng selama ini. Menurutnya, Kalteng sudah mengalami dampak kerusakan SDA yang berulang seperti banjir. Kondisi itu menunjukkan bahwa ekosistem DAS di Kalteng mengalami penurunan fungsi, bahkan mengalami kerusakan.
“Penurunan fungsi dan kerusakan itu menyebabkan daya dukung dan daya tampung lingkungan menurun, sehingga terjadilah erosi, sedimentasi atau pendangkalan pada sungai, dan hutan yang terus menyusut tidak mampu lagi mengikat air ketika curah hujan tinggi,” jelas Habibie kepada Kalteng Pos, Minggu (19/11).
Menurutnya, rehabilitasi DAS di tengah krisis iklim dewasa ini merupakan suatu keharusan, di samping usaha untuk mempertahankan sumber daya alam Kalteng, khususnya hutan, agar yang masih tersisa tetap eksis. Oleh karena itu, rehabilitasi DAS menjadi penting, di samping upaya untuk mempertahankan hutan yang masih tersisa.
“Selain itu, rehabilitasi perlu dilaksanakan sungguh-sungguh, tidak hanya karena adanya program atau proyek, tetapi karena kesadaran bahwa lingkungan kita memang harus dipulihkan,” terangnya.
Ia pun lantas mempertanyakan berapa banyak anggaran yang dialokasikan untuk rehabilitasi DAS, berapa banyak pohon yang sudah ditanam, dan apa ukuran keberhasilan dari rehabilitasi DAS. Menurutnya, hampir semua DAS di Kalteng ada kegiatan eksploitasi SDA, mulai dari perkebunan kelapa sawit, pertambangan, HPH, hingga HTI di beberapa DAS.
“Dari semua DAS tersebut, hampir semuanya mengalami banjir yang berulang. Dalam tahun ini saja, banjir di Kalteng terus terjadi, bahkan intensitasnya mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya hanya sekali dalam setahun, belakangan naik menjadi dua hingga tiga kali dalam setahun,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng, Agustan Saining menjelaskan, tiap kegiatan penambangan dalam satu hektare lahan, maka perusahaan bersangkutan wajib melakukan rehabilitasi wilayah sekitar DAS seluas dua hektare.
“Regulasi itu ditentukan oleh pemerintah pusat, nanti ada direktur konservasi tanah dari Kementerian LHK yang menetapkan lokasi-lokasi rehab DAS itu,” sebut Agustan, Kamis (16/11).
Menurut Agustan, sejauh ini rehabilitasi DAS di Kalteng memang sudah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang terkait. Namun, penerapannya masih belum maksimal.
“Kami selalu melakukan supervisi, tetapi itu kan tugas pemerintah pusat, kami hanya mem-back up, biasanya diminta menjadi salah satu anggota supervisi,” tuturnya.
Disinggung terkait hasil supervisi yang dilakukan sejauh ini, Agustan menyebut sejumlah perusahaan besar di Kalteng sudah menjalankan kewajiban itu. Beberapa kali sudah dilakukan penyerahan ke pemerintah terkait DAS yang berhasil direhabilitasi.
“Tetapi ada juga sebagian yang masih berproses, ada yang masih di tahap awal memohon lokasi-lokasi untuk rehabilitasi DAS,” tambahnya.
Terkait dengan total luasan DAS yang belum dilakukan rehabilitasi, Agustan tidak menyebut angka pasti. Namun berdasarkan laporan dari BPDAS (UPT KLHK yang konsen menangani DAS), baru sekitar 30-40 persen DAS di Kalteng yang sudah direhabilitasi.
“Baru 30-40 persen saja (sudah direhabilitas, red), sisanya masih dalam proses, itu data awal tahun 2023,” tuturnya.
Menurut Agustan, rehabilitasi DAS seharusnya dilakukan dengan terus-menerus. Tetapi perusahaan dibebankan kewajiban untuk berproses merehabilitasi DAS. Dalam kurun waktu tiga tahun, ujar Agustan, perusahaan diminta menanam dan melakukan pemeliharaan. Setelah berhasil di tahun ketiga, barulah hasil rehabilitasi itu diserahkan ke pemerintah.
“Setelah diserahkan ke pemerintah, selanjutnya pemerintah yang akan memelihara, bisa saja oleh KLHK atau pemerintah daerah. Kalau rehab DAS-nya di wilayah APL, maka menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun jika rehab DAS-nya di kawasan hutan, tanyakan ke pusat,” tandasnya. (dan/ce/ala)