Tradisi Mangenta Mulai Punah

- Sabtu, 27 Mei 2023 | 11:28 WIB

PALANGKA RAYA-Tangan Herti begitu lincah mengaduk padi ketan dalam wajan di atas tungku api. Hawa panas begitu terasa meski berada satu setengah meter dari tungku. Namun baginya itu hal biasa. Sesekali tangan kirinya mengusap keringat di wajah. Kepulan asap dari arang terasa menyiksa mata bagi siapa pun yang menonton. Namun tidak wanita berkacamata itu. Ia terlihat santai sembari terus mengharu padi pulut di wajan sampai sedikit lunak. Setelah kurang lebih 20 menit, padi ketan dituangkan ke talam yang terbuat dari rotan.

Selanjutnya padi ketan yang telah melunak itu dimasukkan ke dalam lesung. Bersama dua rekannya, Herti mulai menumbuk padi di atas lesung yang terbuat dari kayu ulin itu dengan menggunakan alu. Suara tumbukan terdengar cukup keras untuk memisahkan beras dari kulitnya. Itulah tradisi mangenta.

Mangenta merupakan proses mengolah kenta yang merupakan makanan tradisional suku Dayak di Kalteng, yakni berupa beras ketan yang disangrai dan ditumbuk dalam lesung. Herti dan rekan-rekannya adalah perwakilan dari salah satu kabupaten mengikuti perlombaan tradisional mangenta Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2023 yang digelar di halaman gelanggang olahraga (Gor) indoor, Jalan Tjilik Riwut Km 5, Kota Palangka Raya, Jumat (26/5). Mereka mewakili Kabupaten Gunung Mas dalam hajatan budaya tahunan terbesar di Bumi Tambun Bungai ini.

Wanita paruh baya itu merupakan salah satu warga desa di Kalteng, yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi mangenta kala panen tiba. Tak heran, wanita bertubuh sintal itu sangat piawai dalam proses mangenta. Bersaing dengan perwakilan sembilan daerah lainnya.

“Satu kali adukan gini memakan waktu 20 menit, tergantung apinya juga, tapi bisa sampai dua jam kalau apinya enggak nyala-nyala, habis dari sini langsung jadi atlet binaraga,” kata wanita berusia 46 tahun itu sembari terkekeh, diikuti gelak tawa penonton.

Membuat kenta, bagi Hesti, bukanlah perkara sulit. Sebab berjualan pangan kenta merupakan usaha yang digelutinya sehari-hari di Desa Tumbang Rahuyan, Kecamatan Rungan Hulu, Kabupaten Gunung Mas. Ia yang merupakan warga asli kelahiran desa tersebut, mengaku masih terus mempertahankan tradisi mangenta usai panen bersama kerabat-kerabatnya di desa setempat. Beras ketan atau kenta yang mereka bawa itu merupakan hasil berladang masyarakat Desa Tumbang Rahuyan.

“Karena kami pakai sistem ladang berpindah yang satu tahun hanya sekali panen, alias manugal, daerah kami panen tiap bulan Mei, biasanya kami ramai-ramai memasak kenta saat panen,” ujarnya.

Sementara, salah satu peserta lomba mangenta dari Pulang Pisau (Pulpis), Ita mengatakan pihaknya masih menanam padi ketan sehingga bisa panen padi ketan tiap tahun. Kala musim panen tiba, ujar wanita berperawakan kurus itu, pihaknya akan mengajak peladang lainnya untuk merayakan hari panen bersama-sama dengan mengolah pangan kenta.

“Ini padi ketan asli dari Pulpis, kalau panen tiap tahunnya kami mangenta ramai-ramai, hitung-hitung merayakan syukuran atas kelimpahan pangan,” ujar wanita berusia 47 tahun itu.

Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Pulpis, Gotat mengatakan, dalam konteks kehidupan masyarakat desa di Pulpis, tradisi mangenta masih rutin dilakukan masyarakat di beberapa desa saat panen.

“Dari hasil berladang itu kami mendapatkan kenta, sebagian untuk membuat mangenta, setelah ditumbuk lantas menghasilkan beras, baru dibikin dengan dicampur air panas dan parutan kelapa, maka jadilah sajian pangan yang dinamakan kenta,” tuturnya.

Pulpis terkenal dengan gaungnya sebagai salah satu daerah di Bumi Tambun Bungai yang memiliki wilayah sentra pengembangan lumbung pangan nasional alias food estate. Menurut Gotat, dengan adanya megaproyek tersebut, selain berperan dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional, juga penting untuk melestarikan kebudayaan masyarakat setempat sebagai bagian dari menjaga kekayaan budaya. Karena mangenta sendiri merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Dayak.

“Pulpis sebagai daerah lumbung pangan nasional, di samping kami menyediakan kesediaan beras, juga melestarikan kebudayaannya, karena budaya lokal seperti mangenta ini perlu dilestarikan,” ujarnya selaku pihak ofisial tim dari Pulpis itu.

Selain untuk mensyukuri kelimpahan pangan usai panen, tradisi ini juga dilakukan untuk mencicipi hasil panen. Menurut Gotat, yang masih menjalankan tradisi ini adalah masyarakat yang tinggal di desa-desa wilayah hulu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Infrastruktur di Pedalaman Katingan Memprihatinkan

Minggu, 21 April 2024 | 14:00 WIB
X