PALANGKA RAYA-Suara gendang bertabuh kencang beriringan dengan suara petikan kecapi dalam tempo cepat. Satu dua penari memasuki panggung seraya bergerak simetris, dengan gerakan yang makin cepat seiring irama musik.
Pencahayaan panggung yang penuh warna-warni menciptakan kesan gemerlap. Gerakan penari yang cepat berganti seiring dengan lambat dan lajunya tempo musik latar, menampakkan kesan fleksibel. Mulanya hanya empat orang perempuan yang menari anggun sambil menenteng balanga (guci dalam bahasa Dayak Ngaju). Selang lima menit, muncul sesosok laki-laki yang tampil mengenakan baju adat Dayak, lengkap dengan tudung kepala berhiaskan taring besar seukuran telunjuk. Bergerak mengelilingi, lalu ikut menari bersama empat penari perempuan.
Lenggak-lenggok tubuh para penari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang itu mengekspresikan kondisi budaya masyarakat Kalteng dan peleburannya dalam aktivitas sosial masyarakat setempat.
Gong makin keras dan cepat ditabuh, tempo kecapi makin laju, alunan musik sekunder macam gendang, kenong, dan bedug juga mulai berbunyi, memperkaya instrumen musik latar. Satu per satu penari mulai memasuki panggung.
Dalam waktu kurang lebih 10 menit, 14 orang penari tampil utuh. Gerak dari masing-masing penari mulanya saling kontra. Namun perlahan melebur menjadi satu kesatuan, menciptakan harmoni tari yang ritmis dan simetris. Berpadu dengan alunan musik Dayak Kalteng yang kental. Para penari kemudian secara serentak menari menggunakan kipas kain beraneka warna.
Tarian merepresentasikan realitas sosial masyarakat Dayak yang menghargai perbedaan dan terbuka dengan akulturasi budaya. Koreografi yang ditampilkan mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat yang plural, menghargai perbedaan, dan fleksibilitasnya terhadap kebudayaan lain.
Pemandangan itu yang telihat di area parkir Taman Kuliner Tunggal Sangomang, Palangka Raya, Sabtu malam (29/4). Riuh rendah dengan berbagai penampilan tari-tarian dalam rangka memperingati Hari Tari Sedunia 2023.
Ada 33 komunitas budaya yang tampil malam itu. Bukan hanya Dayak, tapi juga kebudayaan lain seperti Jawa, Bali, Tiongkok, dan lainnya. Dari puluhan komunitas budaya yang unjuk gigi itu, Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang salah satunya.
Putri Venisa, salah seorang penari yang juga merupakan koreografer tari dari Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang itu menyebut, ada 14 penari yang tampil malam itu. Terdiri dari empat pria dan sepuluh wanita.
“Kami pilih konsep yang ada pria dan wanita karena kami ingin menggabungkan berbagai unsur tari, yakni tari dadas yang terkenal dibawakan oleh penari wanita, lalu tari Dayak Ngaju yang dominan dibawakan oleh laki-laki,” ungkapnya saat ditemui Kalteng Pos usai penampilan.
Wanita berusia 24 tahun ini menyebut, koreografi tari yang ditampilkan sanggranya malam itu merupakan hasil kolaborasi dari sejumlah gerak tari di Kalteng. “Terdiri dari tari kreasi yang dibikin dari tari dadas dan tari gelang bawo,” beber wanita yang mengaku terjun ke dunia sendratari sejak 2011.
Pemilik Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang, Eka Noviana P Laman menyebut sudah mengarahkan para penari yang tergabung dalam Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang untuk membuat koreografi tarian yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Kalteng dalam simponi keberagaman.
“Jadi ada beberapa gerak tari dan sejumlah properti yang disimbolkan sebagai perlambangan keberagaman. Yang pertama tari balanga, yang mana para penari kami menari sembari memegang balanga, pada prinsipnya balanga itu tempat menyimpan sesuatu yang berharga,” jelasnya.
Balanga, lanjut wanita yang akrab disapa Novi itu, dalam konteks kehidupan bermasyarakat Kalteng, terkhusus di Kota Palangka Raya, difilosofikan sebagai wadah menyimpan untuk melestarikan berbagai macam entitas berharga, seperti harta kekayaan atapun atau benda berharga lainnya. Jika diibaratkan dalam realitas sosial masyarakat, balanga itu adalah Kalteng, yang mana Kalteng menyimpan berbagai macam suku dan kebudayaan yang tersimpul menjadi satu dalam keberagaman sebagai harta yang paling berharga.
“Lalu ketika para penari memperagakan tarian menggunakan properti kipas pelangi bermotif warna-warni, itu yang menggambarkan keberagaman, bahwa ada warna-warni di dalam tarian tersebut yang telah dirangkul oleh para penari-penari Dayak,” tutur wanita kelahiran 1981 itu.
Wanita yang mengaku telah mengenal seni tari sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar ini menyebut, tarian yang ditampilkan malam itu menggabungkan sejumlah elemen tari lokal, dari Dayak Ngaju dan Dayak Barito. Seperti tari wadian dadas dan tarian gelang bawo.
“Nama tari ini adalah iruang gundrung, yakni tarian hasil perpaduan antara tarian dadas dengan tarian gelang bawo. Kalau tarian dadas dibawakan oleh perempuan, tarian gelang bawo dibawakan oleh laki-laki. Tetapi di sini kami sajikan dengan memadukan keduanya, sehingga terciptalah tarian iruang gundrung,” ungkapnya.
Wanita yang mengaku belajar ilmu tari secara autodidak ini menyebut pihaknya merasa perlu menciptakan tarian yang mengusung nilai-nilai keberagaman. Dikatakannya, Kalteng secara luas sangat kaya akan akulturasi budaya. Penyatuan kebudayaan dengan kebudayaan lain. Bertepatan dengan momentum Hari Tari Sedunia 2023, menurutnya menyuarakan kesatuan dalam keberagaman sangat perlu, mengingat demografi masyarakat Kalteng yang majemuk.
“Kalau hanya berbicara Kalteng saja, tidak bisa kita hanya berbicara suku Dayak, tetapi ada orang dari daerah lain yang menetap di sini lalu mengikuti perkembangan budaya Dayak, kita harus menghargai bahwa para pendatang mau berbaur dengan orang Dayak, dan orang Dayak juga bersedia menerima mereka dengan perbedaan kebudayaan yang dimiliki, sehingga bisa saling menghargai dalam pluralitas,” jelas wanita yang pernah mengenyam pendidikan program studi pendidikan luar sekolah di Universitas Palangka Raya itu.
Menurut wanita yang mengaku mendirikan Sanggar Seni dan Budaya Balanga Tingang pada 2004 lalu, tiap tarian memiliki bahasa pesan yang ingin disampaikan. Dalam konteks tarian yang pihaknya tampilkan, Eka menyebut bahwa bahasa tari adalah bahasa yang dapat mempersatukan.
“Mengutip dari perkataan Hans Bos bahwa ketika saya menari saya tidak bisa menghakimi, saya tidak bisa membenci, sebab saya tidak bisa memisahkan diri saya dengan kehidupan, saya hanya bisa bergembira dan utuh,” tandasnya.
Kota Palangka Raya adalah ibu kota Provinsi Kalteng yang terkenal dengan potensi seni dan budaya yang unik, bentuk akulturasi dan keberagaman masyarakat yang menetap di dalamnya. Perkembangan dan pelestarian seni dan budaya di Kalteng makin hari semakin maju dengan eksisnya komunitas-komunitas budaya yang saling bersinergi dalam upaya memperkuat identitas, melestarikan, memperkenalkan, dan mengembangkan seni dan budaya di Bumi Tambun Bungai ini. (dan/ce/ram)