Herlina Iswahyudi, Semangat dan Kegigihan Melawan Kanker Payudara

- Senin, 27 Februari 2023 | 11:54 WIB

Lina benar-benar seorang pejuang keluarga. Bertubi-tubi cobaan datang. Namun karena keteguhan hati dan kekuatan cinta kepada buah hati, segala cobaan dan lika-liku kehidupan bisa dilewatinya.

 

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

 

CERITA ini dimulai dari 14 tahun silam. Mengisahkan seorang perempuan bernama Herlina Iswahyudi, sosok yang antimenyerah. Arek Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Bekerja menjadi sales promotion girl (SPG) di salah satu merek kosmetik luar negeri. Hidup di kota metropolitan dengan berpenghasilan yang lumayan. Tidur di ruang ber-AC dengan kasur empuk. Membangun keluarga kecil bahagia bersama suami dan kedua anak perempuannya.

Namun kebahagiaan hidup itu sirna di suatu pagi. Tepatnya tanggal 11 November 2009. Bak petir menyambar kala Herlina menyadari suami tercinta mendadak meninggal. Pagi itu, tak ada lagi hembusan napas sang suami. Ia berusaha membangunkan, tapi tak ada respons. Padahal tak ada riwayat penyakit atau keluhan kesehatan. Kematian suami secara tiba-tiba itu membuat Lina, sapaan akrabnya, mengalami depresi berkepanjangan. Ia pun memutuskan berhenti bekerja. Usaha suami pun bangkrut karena tak dikelola. Kehidupan sebelumnya yang serbacukup berbalik menjadi serbakurang.

Tiga tahun setelah kematian sang suami, Lina memutuskan meninggalkan Kota Pahlawan atas saran dokter psikologi yang menangani depresinya. Memilih Kota Palangka Raya sebagai tempat tujuan. Beberapa harta benda dijual, kecuali rumah. Total uang terkumpul Rp2 juta. Uang itu ia gunakan untuk membeli tiga lembar tiket pesawat. Dua tiket untuk anaknya, Nabilla Ayu Cahyanti yang masih duduk di kelas II SMP dan Marsheila Aulia Putri Cahyanti kelas III SD. Lina hanya punya Rp200 ribu saat menginjakkan kaki di Palangka Raya.

“Saat itu saya hanya membawa baju dan perlengkapan sekolah anak-anak,” ungkapnya saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa hari lalu.

Lina meninggalkan Surabaya pada Juli 2012 tanpa sepengetahuan siapapun. Memulai kehidupan dari nol. Berjuang bersama kedua anaknya. Menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya di Surabaya. Tidur di barak, tanpa AC, tanpa kasur, tanpa kendaraan, makan pas-pasan. Anaknya terpaksa menerima kenyataan, menimba ilmu di sekolah yang kualitasnya jauh berbeda dibandingkan saat di Surabaya.

Empat tahun merangkak. Petir yang pernah menyambar empat tahun lalu itu menyambar lagi. Lebih menggelegar. Tahun 2016, Lina dinyatakan menderita kanker payudara. Di tengah perekonomian keluarga yang belum membaik, ia dipaksa berjuang untuk tetap hidup.

“Pada November 2015, hasil USG menunjukkan saya memiliki tumor dan harus diangkat, tapi saat itu belum ada BPJS dan belum ada dokter onkologi di Palangka Raya, operasi harus dilakukan di Surabaya, karena terkendala biaya, saya menunda operasi,” katanya saat dibincangi di rumahnya, Jalan Samudin Aman IV B, Nomor 12, Kota Palangka Raya.

Karena belum bisa operasi, Lina memutuskan menjalani terapi pengobatan herbal, dengan harapan tumor payudara yang dideritanya bisa sembuh. Namun dampak konsumsi herbal yang tidak tertakar, tumornya justru menjadi kanker. Awal 2016 ia mulai merasakan tidak nyaman pada payudaranya. Benjolan di payudaranya sudah tidak lagi bergerak lagi saat disentuh. Berbeda saat masih tumor.

Ia pun sering merasa kesakitan, mulai dari payudara hingga ketiak dan lengan kiri. Ia menduga bahwa tumor pada payudaranya sudah menjadi kanker dan harus segera ditangani. Ia segera mengurus BPJS Kesehatan dan melakukan pemeriksaan laboratorium. September, ia dinyatakan positif kanker payudara karsinoma sinistra kiri dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening stadium 3B.

“Kanker itu kan sampai stadium 4, saat itu saya sudah stadium 3B dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening,” kisah perempuan yang lahir pada 3 April 1977.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

DPRD: Realisasi APBD Kotim tahun 2023 Lepas Target

Kamis, 28 Maret 2024 | 17:40 WIB
X