Jauh sebelum ditetapkan tersangka perkara mafia tanah oleh Polda Kalteng, Radar Sampit pernah mewawancarai khusus Madie Goening Sius (69) pada 17 Maret 2021 silam. Kepada koran ini, pria uzur itu menceritakan pengalamannya mengurus tanah yang kerap dibanjiri gugatan ke pengadilan.
Gugatan pertama yang dihadapi Madie pada 2014 silam di Pengadilan Negeri Palangka Raya, dengan penggugat Erpin Jener Sirait dan empat orang lainnya. Mereka memperkarakan lahan yang diklaim milik Madie di Jalan Hiu Putih. Para penggugat memiliki legalitas berupa sertifikat.
Hasil sidang perkara perdata itu menyatakan Madie kalah. Namun, Madie mengaku melakukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Menurutnya, hasil putusan kasasi menyatakan dirinya menang.
Madie menjelaskan, kemenangan perkara itu karena Jalan Hiu Putih Induk dan Jalan Arwana, jarak yang diperkarakan lokasinya cukup jauh. Tidak sejalur dan berjarak sekitar 3 km dari lokasi tanah milik Madie.
”Mereka (penggugat) tetap bersikeras menyatakan menang dan sampai saat ini mereka dan saya belum menerima putusan MA,” ucap Madie.
Di tahun yang sama, Madie kembali digugat Hethi Baboe. Penggugat bersikukuh memiliki tanah di atas lahan yang diklaim Madie miliknya di Jalan Hiu Putih. Meski demikian, menurut Madie, sertifikat penggugat berlokasi di Jalan Badak.
Perkara itu telah diproses di Pengadilan Negeri dan dikeluarkan surat berkekuatan hukum tetap pada 1 Juli 2015. Madie menuturkan, pihak penggugat belum sampai mengikuti sidang berkas perkara sudah mengundurkan diri dan mengakui tanah yang diakuinya benar miliknya.
Pada 2021, Madie kembali menghadapi gugatan dari tiga warga, yakni Suparno, Suratno dan Dilar. Gugatan itu terkait lahan di Jalan Hiu Putih yang diklaim milik Madie. Pada putusannya, Pengailan Negeri Palangka Raya memenangkan para penggugat, sementara Madie kembali harus gigit jari.
Usahanya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung pun gagal. Pada 3 Agustus 2022, MA resmi menolak kasasinya dan memperkuat putusan Pengadilan Tinggi dan PN Palangka Raya
Kepada Radar Sampit, meski kerap kalah gugatan, dia berusaha mempertahankan tanah warisan milik kakeknya. Tepat di depan rumah Madie yang dibangunnya pada 2004 lalu, terhampar ratusan pohon karet yang ditanamnya.
Sejak tahun 2014 itulah, Madie menyadari tanahnya bersengketa. Dia menduga, tanahnya mulai bersengketa sejak adanya pembukaan dan penimbunan, serta perbaikan jalan.
”Sebelumnya aman-aman saja. Dulunya di sini hutan. Belum ada jalan. Sekitar tahun 2014 mulai ada pembukaan dan penimbunan jalan. Mulanya dengan keringat sendiri saya membuka jalan. Beberapa kali saya ajukan ke Dinas PUPR ke Bidang Bina Marga agar dibangun jalan di Jalan Hiu Putih. Barulah pemerintah turun tangan,” katanya.
”Dulunya jembatan pengaringan belum ada, disini masih jalan setapak. Jalan Hiu Putih baru saja diaspal tahun 2020. Tidak ada sejarahnya Jalan Arwana berubah menjadi Jalan Hiu Putih. Dari dahulu, nama jalan ya tetap Jalan Hiu Putih,” tambahnya lagi.
Kepada Radar Sampit, dia menunjukkan secarik kertas lusuh berwarna oranye dengan tulisan yang sudah nampak kabur. Kertas itu bertuliskan ejaan lama, yakni Surat Pernyataan Tanah atau Verklaring Nomor 23/1960 yang dibuat pada 30 Djuni 1960. Dokumen itu ditandatangani Damang Kepala Adat Kahajan Tengah F Sahai dan diketahui Kepala Kampung Pahandut, Kecamatan Kahajan Tengah, Kewedanaan Kahajan, Kabupaten Kapuas, Daerah Swantantra Tingkat 1 Kalimantan Tengah.
Dalam surat pernyataan verklaring itu, ABD Inin selaku Kepala Kampung Pahandut (sekarang Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya) dan disahkan Asisten Wardana Kahajan Tengah J M Nahan, menerangkan bahwa Goening Sius yang beralamat di Kampung Pahandut sebagai pekerjaan petani menyatakan benar ada memiliki 1 bidang tanah perwatasan hak milik adat yang dipergunakan menjadi tempat berkebun pantung dengan panjang 4.500 depa atau 1,5 meter = 6.750 meter dan lebar 800 depa atau 1,5 m = 1.200 meter.
Tanah tersebut berkedudukan di km 7 Djalan Tangkiling (sekarang Jalan Tjilik Riwut) sejauh kurang lebih 1.700 meter masuk ke dalam sebelah kiri apabila menuju ke arah Tangkiling, wilayah hukum Kampung Pahandut.
Dalam surat pernyataan itu dijelaskan pula batas-batas tanah. Sebelah timur berbatasan dengan Loeting atau Ekot Sampoeng, sebelah barat berbatasan dengan A Hariwoeng atau A Djambang. Sebelah utara berbatasan dengan Djunmbra Udang dan sebelah selatan berbatasan dengan R Kamis.
Diakhir surat tertulis, ”Agar supaja lebih djelas, dipersilakan menilik atau melihat pada peta di sebelah ini. Demikian verklaring ini dibuat dengan sebenarnja agar dapat mendjadi pegangan bagi jang bersangkutan di kemudian hari.”
Verklaring itulah yang menjadi pegangan dokumen otentik bagi Madie untuk mempertahankan tanah warisannya sampai ke ranah pengadilan. Namun, dalam penyelidikan Polda Kalteng, surat tersebut diduga palsu.
”Ini sudah ketiga kali saya digugat pihak yang mengaku memiliki tanah di atas tanah saya,” katanya.
Madie mengungkapkan, sebelumnya tanah warisan milik Goening Sius—penggabungan nama ayah dan kakeknya—memiliki luasan 800 hektare. Namun, seiring adanya pembukaan jalan, tanah tersebut tersisa 223 hektare.
Dari 223 hektare, 135 hektare di antaranya sudah dibagikan ke anak cucu dan terdapat bangunan. Sedangkan, 88 hektare masih berupa tanah kosong yang sebagian dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan.
”Dari tanah yang ada sudah dikeluarkan 15 Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Kelurahan Bukit Tunggal dan kami rutin membayar pajak,” ungkapnya.
Lebih lanjut Madie mengatakan, berbagai upaya untuk mempertahankan tanah warisan terus dilakukan. Pada 2010, dia datang ke kantor BPN Kota Palangka Raya untuk mendaftarkan tanahnya. Dia diminta menghadap Kasi Pengukuran dan disarankan lagi menemui Kepala Kantor BPN.
”Seperti bola saya dibuat mereka. Diminta kesana-kemari. Setelah saya ketemu Kepala BPN Kota Palangka Raya, dia mengecek berkas dan mengambil kertas dan menuliskan disposisi ke bagian seksi SK pada 8 November 2010. Hari itu juga saya serahkan dan untuk berjaga-jaga saya memfotokopi surat disposisi itu sebagai pegangan saya saja,” katanya.
Urusannya ke Kantor BPN Kota Palangka Raya tak lantas selesai. Belasan kali Madie mendatangi kantor itu untuk menanyakan urusan tanahnya. Namun, belum ada tanggapan.
Setelah sekian puluh tahun lamanya, Madie baru menyadari tanah miliknya berada di atas kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). ”Awalnya saya tidak tahu tanah saya masuk kawasan HPK. Ada informasi dari tetangga ramai membahas bahwa di Jalan Hiu Putih, Jalan Banteng, dan sebagian Jalan Badak masuk kawasan HPK,” katanya.
Mengetahui hal itu, pada 13 November 2020, Madie mengajukan surat permohonan ke Dinas Kehutanan Kalteng untuk memastikan apakah tanah miliknya benar masuk kawasan HPK atau tidak. Berselang empat hari setelah surat permohonan diajukan, pada 16 November 2020, Dinas Kehutanan Kalteng menjawab surat permohonan Madie yang ditandatangani basah oleh Kepala Dinas Kehutanan, Sri Suwanto.
Dalam surat nomor 522/2485/II.1/Dishut, lampiran satu peta perihal konfirmasi tanah atas nama Goening Sius di Jalan Hiu Putih Induk seluas kurang lebih 88 hektare di Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, benar berada pada kawasan HPK. Hal itu dibuktikan berdasarkan telaah terhadap peta lampiran SK 8108/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 pada 23 November 2018.
Sebidang tanah seluas 88 hektare milik Madie telah diusulkan Pemerintah Kota Palangka Raya berada pada Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk penyediaan sumber peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk kriteria pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No SK 7434/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/9/2019 pada 12 September 2019.
Dalam penjelasan riwayat tanah verklaring atas nama Goening Sius yang dilimpahkan kepada Madie selaku penerima wasiat pada 14 April 1978 dinyatakan aman, tidak bersengketa. Apabila berdasarkan pencermatan BPN Kota Palangka Raya sudah memenuhi ketentuan Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 Jo P.62/Menhut-II/2013 dan PP Nomor 24 Tahun 1997, maka penerbitan sertifikat merupakan kewenangan BPN Kota Palangka Raya.
Setelah mengetahui surat yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Kalteng, dia bersama warga yang merasa bersengketa lainnya mendatangai kantor Kelurahan Bukit Tunggal perihal status verklaring di Jalan Hiu Putih Kota Palangka Raya.
Kedatangan Madie dan warga lainnya ditindaklanjuti pejabat setempat dengan mengirimkan surat kepada Kepala Kantor BPN Kota Palangka Raya pada 18 Desember 2020.
Dalam surat tersebut tertulis bahwa permasalahan sengketa tanah di Kelurahan Bukit Tunggal semakin marak terjadi, sehingga pihaknya meminta agar BPN Kota Palangka Raya dapat mengetahui status legalitas verklaring di Jalan Hiu Putih.
Selanjutnya, BPN Kota Palangka Raya menyatakan surat verklaring sebagai alas hak penguasaan tanah berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dinyatakan dicabut dan tidak berlaku sesuai surat Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalteng Nomor 286a.300.8.62/V/2016 yang dikeluarkan pada 30 Mei 2016. (hgn/daq/ign)