Peladang Tradisional Belum Aman

- Kamis, 9 Juli 2020 | 14:49 WIB

PALANGKA RAYA-Raperda Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Kebakaran Lahan sudah disepakati. Tinggal disahkan dan diundangkan dalam lembaran daerah. Secara garis besar, kalangan eksekutif dan legislatif menilai substansi dari raperda itu membela petani/peladang tradisional dari masyarakat adat.

Namun, bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, pengesahan itu sarat politis. Hal itu diutarakan oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas N Hartono, (8/7). Karena, sebut Dimas, dalam raperda itu pengakuan diberikan pemerintah kepada para petani/peladang tradisional dari masyarakat adat. Bukan pada pengakuan masyarakat adat secara penguasaan wilayah, tapi sebatas pada budayanya dalam pembukaan lahan. Hal itu dikarenakan belum disahkan Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak.

“Perda Pengendalian Kebakaran Lahan ini nanti bisa menjebak masyarakat, terutama masyarakat adat yang tinggal di dekat kawasan perkebunan. Sebab, apabila ada kebakaran besar yang sebenarnya bukan dilakukan oleh masyarakat adat, melainkan oleh perusahaan untuk perluasan lahannya, maka itu dapat menjadi justifikasi bahwa masyarakat adat adalah pelaku pembakaran lahan,” katanya kepada Kalteng Pos.

Sehingga, jika berbicara masalah konteks persoalan antara masalah pengendalian kebakaran lahan yang terjadi selama ini di Kalteng dengan masyarakat hukum adat, sebenarnya sangat berbeda persoalannya. Dimas menyarankan, selain memberikan perlindungan kepada petani/peladang tradisional, Pemprov Kalteng juga harus bisa mendorong mereka agar dapat membuka lahan tanpa harus membakar.

“Pemerintah harus memberikan solusi bagi mereka untuk meninggalkan cara membuka lahan dengan cara membakar,” terang Dimas. Sementara, menurut Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto, Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan ini dinilai sudah tepat. Akan tetapi, harus dibarengi dengan adanya perlindungan hukum bagi peladang tradisional melalui pengesahan Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak. Karena menurut Ferdi, dalam konteks perlindungan hukum bagi petani/peladang tradisional di dalam masyarakat adat dayak yang dirumuskan dalam Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan yang sudah disepakati ini, tidak menjadi penting jika Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak belum disahkan.

 “Karena selama Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak belum ditetapkan, maka dalam konteks perlindungan hukum bagi petani/peladang tradisional di dalam masyarakat adat dayak yang dirumuskan dalam Perda Pengendalian Kebakaran Lahan itu tidak menjadi penting,” ujarnya kepada Kalteng Pos ketika dihubungi melalui sambungan telepon.

AMAN Kalteng meminta masyarakat Kalteng, terutama masyarakat petani/peladang tradisional di dalam masyarakat adat Dayak, untuk tetap waspada dengan dikeluarkanya Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan ini. Tidak ada produk hukum daerah yang bisa menjamin atau melindungi masyarakat adat jika peladang tradisional dikenai pasal kriminalisasi terkait kebakaran lahan dan hutan seperti yang terjadi selama ini.

“Dengan belum disahkannya terlebih dahulu Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak, maka para petani/peladang tradisional belum bisa dikatakan dikeluarkan dari zona bahaya kriminalisasi karhutla,” terang Ferdi lagi.

Menurutnya, kepastian dan pengakuan di depan hukum terhadap keberadaan masyarakat adat di Kalteng ini dirasakan sangat perlu, karena berkaca dari pengalaman selama ini, posisi petani/peladang tradisional saat berhadapan dengan hukum terkait soal pembakaran lahan, masih sangat lemah.

Ferdi mengambil contoh nasib yang dialami seorang petani bernama Saprudin alias Sapur, warga Desa Juking Panjang, Murung Raya. Petani ini dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Barito Utara dengan tuduhan melakukan pembakaran lahan.

Saat itu Sapur telah memiliki izin membakar lahan dari kepala Desa Juking Panjang. Bahkan izin tersebut diketahui oleh mantir adat desa setempat, yang dikuatkan oleh pernyataan dari DAD Kabupaten Murung Raya yang membenarkan Sapur sebagai bagian dari masyarakat adat Dayak lokal dan berladang dengan cara kearifan lokal Dayak.

“Akan tetapi, hakim pengadilan berpendapat lain. Tidak ada bukti yuridis Sapur bagian masyarakat adat, karena tidak ada produk hukum daerah berupa perda provinsi atau perda Kabupaten Mura maupun keputusan gubernur atau Bupati Mura yang menetapkan komunitas adat di Desa Juking Panjang sebagai masyarakat adat,” beber Ferdi.

Kekosongan regulasi dan peraturan atas pengakuan keberadaan masyarakat adat inilah yang menurut Ferdi perlu diperhatikan oleh pihak pemerintah daerah, baik pihak Pemprov Kalteng maupun pemerintah daerah kabupaten/kota di Kalteng.

Oleh sebab itu, meskipun dalam Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan yang baru disepakati tersebut memastikan pengakuan terkait izin pembakaran yang dikeluarkan oleh damang serta mantir adat, pihak AMAN wilayah Kalteng memandang tetap perlu adanya regulasi terkait pengakuan keberadaan komunitas masyarakat adat Dayak di Kalteng.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

DPRD: Realisasi APBD Kotim tahun 2023 Lepas Target

Kamis, 28 Maret 2024 | 17:40 WIB
X