Walhi Menolak Megaproyek Food Estate di Kalteng

- Minggu, 5 Juli 2020 | 11:14 WIB

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono juga menanggapi rencana megaproyek nasional ini. Jika melihat lokasi rencana pengembangan food estate, meskipun sudah tidak bergambut, lanjutnya, tetapi cetak sawah itu harus diawali dengan keterbukaan informasi kepada masyarakat setempat. Kemudian, pembukaan cetak sawah ini rentan adanya konflik lahan baru di tengah masyarakat. Sebab, food estate ini merupakan korporatisasi tanaman pangan. Tentu ada investasi yang masuk.

“Masyarakat berhak mengelola lahan dan kepemilikan atas tanah miliknya ke depan,” ucapnya.

Ditambahkannya, kemungkinan terjadinya kerusakan di lokasi ini pasti ada. Beberapa waktu lalu menteri pertanian mengatakan bahwa akan dibuat kanal-kanal baru, maka gambut akan dibuka lagi. Tentu akan ada perubahan fungsi gambut sehingga menjadi kering.

“Untuk itu, utamakan lahan-lahan pertanian yang sudah dilakukan masyarakat. Didata berapa jumlahnya, berapa luasnya, dan jenis tanaman apa saja. Berikan pengakuan kepada lahan masyarakat yang sudah dikelola. Lantaran, selama ini masih banyak lahan pertanian masyarakat yang masih berada dalam kawasan hutan,” ucap dia.

Menurutnya, food estate ini memang berada di lahan eksisting dan dikelola oleh masyarakat. Akan tetapi, pembukaan lahan baru tidak perlu dilakukan. Ia meyakini bahwa luas lahan di Kalteng ini belum didata maksimal.

“Jika ini didata dan diidentifikasi, kami yakin sebetulnya tidak perlu ada pembukaan lahan baru karena luasan pasti besar, dan jika itu juga ada pengakuan dari pemerintah,” tegasnya.

Pihaknya selaku Walhi Kalteng bersama 162 lembaga lain dengan jelas dan tegas menyatakan penolakan terhadap program ini. Dengan penolakan ini pihaknya akan melakukan berbagai kajian. Apalagi hingga kini kajian yang dibuat oleh pemerintah belum terbuka dan tidak melibatkan masyarakat.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng Esau mengatakan, dalam pengelolaan proyek nasional ini, DLH Kalteng tentu akan terlibat. Menurutnya, DLH berkewajiban menjaga lingkungan Bumi Tambun Bungai ini, termasuk gambut.

“Jadi, lahan pertanian ini, jika lingkungan dan gambutnya tidak dijaga, maka pertanian tidak akan berhasil. Untuk itu, sangat perlu menjaga lingkungan dan gambut selama pengelolaan proyek ini,” katanya saat dikonfirmasi, Senin (29/6).

Berbicara dampak lingkungan, tentu dalam proyek ini harus memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Untuk lahan eksis yang saat ini sudah berjalan tidak perlu menunggu Amdal selesai. Tetapi, lanjut dia, kajian Amdal untuk proyek food estate secara umum, saat ini sedang dalam proses.

“Kajian Amdal untuk eks-PLG ini sebelumnya ada, tetapi sudah tidak berlaku lagi. Saat ini kami sudah memiliki dokumen-dokumen yang bisa dijadikan acuan,” tegasnya.

Ia menambahkan, dokumen-dokumen itu hanyalah acuan dasar. Kementerian terkait pun sudah melakukan rapid assessment di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Rapid assessment ini merupakan penilaian cepat sebagai potret dasar. Semua itu masih harus didetailkan dan diformalkan.

“Saat ini Amdal secara keseluruhan masih berproses, bahkan peraturan presiden (perpres) tentang ini saja belum ada. Harusnya perpres lebih dahulu ada,” ucapnya.

Mengingat pengelolaan food estate ini merupakan proyek nasional, maka hampir semua proses berjalan di pusat. Bahkan yang melaksanakan kajian Amdal pun pemerintah pusat. Kalteng hanya menyiapkan lokasi saja.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Tahun 2025 Kotim Ditarget Bebas Blankspot

Selasa, 7 Mei 2024 | 09:45 WIB

Penjarahan Sawit Ganggu Perekonomian Kalteng

Senin, 6 Mei 2024 | 14:15 WIB

Tabrakan di Jalan Gelap Tewaskan Dua Warga

Selasa, 30 April 2024 | 16:10 WIB
X