Kabut Asap untuk ‘Dark Tourism’

- Sabtu, 21 September 2019 | 11:15 WIB

Oleh; Bhayu Rhama PhD

 

SAAT saya sedang menjalani studi S3 di University of Central Lancashire di Inggris pada tahun 2013-2017, beberapa profesor promotor saya sedang fokus pada wisata kelam (dark tourism) atau wisata ke tempat-tempat terjadinya peristiwa yang menimbulkan korban jiwa. Pada umumnya, wisatawan melakukan perjalanan ini untuk mengenang dan mencari pengalaman mengapa bencana tersebut bisa terjadi. Perjalanan yang dilakukan oleh para wisatawan ini ternyata sudah dilakukan jauh sebelum istilah ini muncul pada tahun 1990-an. Misalnya tour spot penembakan Presiden John F Kennedy di Dallas-Amerika Serikat, wisata ke pembantaian manusia di Tuol Sleng-Kamboja, tur genosida di Rwanda, tur genosida oleh Nazi di Desa Oradour-sur-Glane Perancis, dan masih banyak lagi.

Kabut asap yang disebabkan karena kebakaran lahan atau dengan kata lain smoky fog/smog (Des Voeux, 1950) untuk menunjukkan pencemaran udara yang melanda beberapa kota di Indonesia, khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah, mungkin sebentar lagi akan masuk dalam daftar kunjungan dark tourism kalau ada korban jiwa. Apalagi kejadiannya cukup konsisten. Beberapa penelitian memang hanya menyebutkan bahwa kebakaran lahan tersebut mengakibatkan kasus kematian dini (CNN Indonesia, 2016). Meski demikian, pada 2015 lalu telah tercatat lima korban jiwa (Kompas, 2015).

Sejarah mencatat bahwa kabut asap yang disebabkan kebakaran lahan ini sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1982, dan berpotensi terjadi secara regular setiap tahun saat musim kemarau (Suryani, 2012). Namun demikian, hingga saat ini tak banyak terobosan yang dilakukan untuk dapat mengurangi tragedi, selain berharap kepada alam agar musim kemarau tidak terlalu panjang. Tindakan kuratif seperti penyediaan helikopter untuk memadamkan api lebih sering digunakan daripada tindakan preventif seperti pemberdayaan masyarakat. Padahal masyarakat adalah ujung tombak untuk menjaga wilayah masing-masing, karena rasa memiliki yang tinggi. Akan tetapi, tidak banyak masyarakat yang bersedia menjadi ujung tombak, karena biasanya juga harus menjadi ujung ‘tombok’ (baca: menalangi tanpa ada jaminan diganti). Terkadang bukan karena masyarakat tidak mau menjadi ujung ‘tombok’, tapi mereka tidak mampu secara ekonomi.

Pemberdayaan masyarakat merupakan tindakan preventif yang sebaiknya dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi, sehingga pemahaman akan pentingnya lingkungan yang sehat menjadi nilai kehidupan masyarakat. Konsep sapta pesona, yaitu aman, sejuk, bersih, indah, tertib, ramah tamah, dan kenangan telah digaungkan pemerintah, supaya pariwisata memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun, kegiatan-kegiatan sosialisasi atau penyadaran pentingnya sapta pesona tidak boleh berhenti. Frekuensinya justru harus ditingkatkan. Terjadinya kabut asap secara otomatis menghilangkan aspek sejuk, bersih, dan indah dalam sapta pesona, sehingga pariwisata dipercaya tidak akan berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kelompok sadar wisata (pokdarwis), yang dilanjutkan dengan program-program untuk mendukung sapta pesona, secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya kebakaran lahan.

Selain itu, tindakan pencegahan kebakaran lahan melalui pemberdayaan masyarakat atau melibatkan masyarakat secara langsung, mendorong ikatan emosional masyarakat dan lingkungan. Sebagai contoh, hadirnya Masyarakat Peduli Api (MPA) yang beranggotakan masyarakat lokal. Mestinya kelompok ini didukung dengan komitmen berupa dukungan nyata seperti halnya yang dilakukan pada anggaran dana desa (ADD). Sepanjang pengetahuan penulis, tindakan kuratif seperti menggunakan helikopter untuk melakukan bom air, biayanya sebesar Rp100-150 juta untuk sekali terbang. Otomatis pasti menghabiskan ratusan miliar, bahkan mungkin mencapai triliun rupiah jika proses pemadaman berlangsung lebih dari satu bulan. Tentu saja biaya ini sangat berarti apabila digunakan untuk keterlibatan masyarakat lokal dalam rangka menjaga lingkungan, khususnya terkait kebakaran lahan. Kepercayaan untuk melibatkan masyarakat, baik dalam program-program pokdarwis maupun MPA, dapat meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap lingkungan, sekaligus menjadikannya ujung tombak dalam menjaga lingkungan, tanpa membuat mereka menjadi ‘ujung tombok’.

Potensi pariwisata dengan modal bencana kabut asap atau dark tourism tidak perlu diekspos, karena Indonesia masih memiliki banyak potensi pariwisata dengan modal keanekaragaman hayati yang dimiliki. Dengan demikian, sarkasme Festival Kabut Asap, yang meskipun kehadirannya lebih konsisten daripada festival yang lain, atau meme film ‘Beauty and The Beast’ yang diganti menjadi ‘Bekabut dan Beasap’ tidak akan pernah hadir, karena hilangnya tragedi smog atau kabut asap di Indonesia.

 

Penulis adalah Praktisi dan Akademisi Pariwisata FISIP Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Tujuh Daerah di Kalteng Ini Terima Teguran KPK

Jumat, 26 April 2024 | 10:45 WIB
X