Jalan Membelah Hutan untuk Hindari Debu Tambang

- Jumat, 26 Juli 2019 | 14:00 WIB

Kakak beradik Indra dan Alan punya semangat luar biasa. Saban hari berjalan sekitar 16 kilometer untuk berangkat dan pulang sekolah. Berjalan kaki membelah hutan menjadi pilihan, karena jalan hauling tak lagi terasa nyaman untuk dilewati.

 

 

ANISA B WAHDAH-AGUS PRAMONO-Tamiang Layang

 

PANTAT begitu penat. Enam jam duduk di kursi minibus yang membawa kami dari Palangka Raya menuju Ampah. Tak ingin berlama-lama, kami langsung menuju Dusun Pimping, Desa Gandrung. Untuk ke sana, kami harus menyewa sepeda motor. Tak ada ojek maupun angkot. Estimasi waktu paling lambat dua jam.

Pantat tambah penat. Medan yang dilalui tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Kami melewati jalan makadam. Kontur jalan demikian membuat pengendara mesti pintar-pintar memilih jalan. Jika tak sempat menghindari batu, ya begitu terasa di pantat. Kami pun memilih pelan-pelan. Asal sampai di tujuan dengan selamat. Di tengah perjalanan, pohon tumbang menghalang jalan. Diameternya seukuran galon air. Kami pun berputar otak mencari cara untuk bisa lewat. Sebab, tak mungkin untuk memotong atau memindahkannya.

Saat itu langit bersemburat berwarna merah jambu. Matahari mulai tenggelam dari cakrawala. Burung-burung walet menukik tajam dari ketinggian. Saling berkejaran.

Breng…Breng. Terdengar suara sepeda motor keluar dari hutan. Pengendara itu menerobos ilalang. Kami pun mengikuti jalan alternatif yang dilewati pengendara tersebut. Tidak jauh. Tapi kontur tanah begitu lembek. Meski sedikit kesulitan, akhirnya kami bisa melewati itu.

Matahari benar-benar sudah terbenam. Namun kami belum sampai di tujuan. Suara binatang malam mengiringi sepanjang perjalanan. Laju sepeda motor sedikit kencang, karena sudah melewati jalan hauling. “Yee sampai,” pekik Anisa memecah keheningan.

Sepeda motor terparkir di pelataran rumah Indra (13) dan Alan (12). Kami disambut hangat oleh orang tua mereka, Edi dan Injut. Setelah mengobrol singkat, kami pun beristirahat. Di rumah panggung terbuat dari kayu itu, lampu teplok menjadi penerang.

Lantai dari kayu tiba-tiba berderit. Ternyata Indra dan Alan sudah melangkah keluar dari kamar. Mengalungkan handuk. Tangannya membawa gayung berisi peralatan mandi. Mereka berjalan menuju sungai. Jaraknya 100 meter. Tepat di sisi kiri rumah. Jam di ponsel menunjukkan pukul 05.00 WIB. Terasa malas untuk bangun. Apalagi hawa dingin begitu menusuk tulang.

“Mau mandi?” tanya Rika (21), kakak sepupu Alan, yang juga seorang guru honorer yang turut tidur di rumah Alan. “Mandi? Di mana?” sahut kami. “Di Sungai Pimping, setiap pagi kami mandi di sini,” kata Rika. Sungai tersebut menjadi satu-satunya sumber kehidupan warga Dusun Pimping. Arus sungai tak begitu deras. Dangkal. Sedikit keruh. Aktivitas mandi, mencuci, dan buang air, semuanya dilakukan di sungai itu.

Sepulang dari sungai, Rika, Indra, dan Alan bergegas bersiap menuju sekolah. Tidak sarapan. Tidak membawa bekal. Masing-masing diberi uang saku Rp2 ribu. Maklum, sang ibu dan ayah hanya berpenghasilan Rp15 ribu per hari. Hasil menyadap karet. Dihargai Rp5 ribu per kilogram.

“Sehari paling dapat lima kilogram. Yang punya kebun dapat dua kilogram. Sisanya kami,” kata Injut, ibu Alan. Tepat pukul 06.00 WIB, melangkah keluar rumah. Mengejar waktu agar tidak telat, karena jam masuk sekolah adalah pukul 08.00 WIB. Mereka terlihat menyambut hari pertama masuk sekolah dengan penuh semangat usai libur panjang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Tujuh Daerah di Kalteng Ini Terima Teguran KPK

Jumat, 26 April 2024 | 10:45 WIB
X