Yantenglie Ngaku Korban Politik

- Rabu, 24 Juli 2019 | 11:42 WIB

PALANGKA RAYA-Persidangan tindak pidana korupsi (Tipikor) uang kas Daerah Kabupaten Katingan senilai Rp 100 miliar telah menuju babak akhir. Sidang dengan agenda pembacaan duplik dari terdakwa tersebut dilaksanakan di pengadilan Tipikor Palangka Raya, Selasa (23/7). Sidang dipimpin majelis hakim Agus Windana.

Dalam persidangan itu, Ahmad Yantenglie terus membantah dan mengatakan dirinya sebagai korban politik dalam kasus ini. “Saya sebenarnya korban politik. Karir politik yang saya rintis dari bawah pupus hanya karena kasus yang sebenarnya bukan saya pelakunya,” ujarnya dengan bahasanya sendiri.

Didalam replik JPU, lanjut mantan Bupati Katingan ini, tidak menyimak jalannya persidangan dan hanya menekankan pada unsur-unsur teori dan bukannya fakta yang terungkap dalam persidangan. "Dari analisa dan kesimpulan saya yang tertuang dalam pledoi saya sebelumnya membuktikan bahwa JPU masih ragu-ragu dalam memutuskan bersalahnya terdakwa," ujarnya.

Dalam berkas tuntutan yang telah dibacakan JPU dalam persidangan sebelumnya pun telah mengabaikan fakta-fakta hukum. Selain itu, suami Farida Yeni ini juga menilai bahwa JPU begitu bersemangat menargetkan dirinya sebagai terdakwa.

"Padahal dalam posisi ini saya sebagai korban. JPU semestinya mencantumkan keterlibatan pihak lain dalam BAP, dan BAP pun harus sempurna, jelas siapa pelakunya, " ucapnya.

Dari pantauan awak media setidaknya terdapat delapan poin yang merupakan inti dari duplik yang dibacakan oleh terdakwa. Poin pertama Yantenglie menyebutkan bahwa pemisahan berkas perkara yang dilakukan oleh JPU dalam kasus ini sangat merugikan dirinya. Menurutnya penentuan kualitas penyertaan yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.

Poin kedua terdakwa menyebut jika dalam BAP Penyidik Polda Kalteng menyebut jika ada kerjasama antara Teguh Handoko dan Heryanto Chandra untuk mengeruk uang kas daerah Kabupaten Katingan dengan bantuan Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) saat itu, Tekli.

Poin ketiga Yantenglie menyebut jika berdasarkan hasil audit dari BPK RI menyimpulkan bahwa adanya penyimpangan atas dana kas daerah yang menurut tim BPK, diduga ada perubahan nota kesepahaman penempatan deposito menjadi giro tersebut dilakukan oleh Heryanto Chandra, yang tercantum selaku perantara dalam pembukaan rekening.

Pada poin keempat, terdakwa mempertanyakan status hukum dari Teguh Handoko mantan Kepala Kantor Kas BTN Pondok Pinang yang juga terlibat dalam kasus korupsi ini dirasa belum jelas hingga saat ini oleh terdakwa.

Poin kelima terdakwa terdakwa menuntut JPU untuk segera menangkap Heryanto Chandra yang hingga kini masih buron. Menurutnya JPU tidak ada upaya dalam menangkap Heryanto Chandra yang menjadi otak dalam kasus ini.

Pada Poin Keenam dan Ketujuh tedakwa membantah telah mengambil uang negara dengan total nilai Rp 6,5 miliar yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yakni pemberian uang dari Teguh Handoko senilai Rp1,5 miliar, dan bagian kedua adalah Rp5 miliar yang digunakan terdakwa untuk membayar jasa pengacara.

Pada poin kedelapan dalam dupliknya terdakwa secara jelas menolak peyitaan atas barang berharganya oleh JPU dalam tuntutannya. Menurutnya harta benda yang diperoleh terdakwa dalam tuntutan tersebut bukan merupakan suatu hasil tindak pidana.

“Demikian duplik saya sampaikan untuk mencari keadilan. Semoga niat baik saya mendapat perhatian dari majelis hakim,” tutupnya.

Menanggapi duplik yang disampaikan oleh terdakwa, JPU yang di ketuai oleh Kasipidsus Kejari Katingan, Tommy Aprianto tidak banyak berkomentar melainkan hanya menunggu keputusan hakim . Dirinya sangat optimis jika majelis hakim akan memutuskan sesuai dengan tuntutan JPU.

“Lihat saja nanti keputusan Hakim. Prinsipnya kami percayakan sepenuhnya pada hakim yang memutuskannya. Kami tetap optimis putusan hakim akan sesuai tuntutan,” pungkasnya. (old/ala)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

DPRD: Realisasi APBD Kotim tahun 2023 Lepas Target

Kamis, 28 Maret 2024 | 17:40 WIB
X