Jejak peninggalan sejarah Islam sangat kental hingga kini dan dapat ditelusuri di daerah yang dulunya disebut Bukit Indra Kencana (Marunting Batu Aji).
CALVIN KURDLENSON, Pangkalan Bun
DALAM buku Hikajat Banjar, Kesultanan Kutaringin adalah bagian (pemekeran) dari Kesultanan Bandjar. Pengaruh Islam dari Kerajaan Bandjar sangat kuat terhadap Kesultanan Kutaringin.
Kesultanan Kutaringin mulai membesar di Tanah Bukit Indra Kentjana pada awalnya di Kotawaringin Lawas yang saat ini menjadi Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam). Istana Sultan Kutaringin adalah bangunan yang sangat besar dengan alun-alun yang sangat luas. Saat ini, wilayah ini dikenal sebagai Istana Kuning dan alun-alunnya dengan nama Lapangan Tugu. Istana Kuning berdiri megah di atas Bukit Indra Kentjana di Kota Pangkalan Bun.
Bangunanya berkarakter Islami yang kental dengan paduan Bandjar serta Melayu, dibuktikan dengan adanya Masjid Radjaiyah di depan Alun-Alun Sultan Kutaringin. Istana Kuning mulai didirikan oleh YM Sultan Imanudin ( IX ).
Saat ini, keturunan atau kerabat di Kesultanan Kutaringin ada Sultan XV Pangeran Ratu Alidin, saudara-saudara Sultan Pangeran Arsyadinsyah, Pangeran Muasjidinsyah serta keluarga besar lainnya yang tetap terjaga silaturahminya.
Berbicara tentang Islam di Tanah Bukit Indra Kentjana, masyarakat sekitar tidak asing lagi dengan nama Kiyai Gede. Sosok ulama tersohor dari Kesultanan Kutaringin ini, merupakan ulama pertama yang dipercayai Kesultanan untuk menyiarkan Islam.
Kembali ke sejarah Kesultanan Kutaringin, awalnya dalam buku perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dan VOC, bahwa Sultan Sleman menyerahkan batas Antasari Kexil, Lawai, Jelai, Sintang, Tabanjau, Pagatan, Pulau Laut, Kutaringin diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Sejak tahun 1635, maka Banjarmasin dan beberapa wilayahnya ada hubungannya dengan Inggris dan Hindia Belanda, atas perjanjian Sultan Sleman, Sultan Bandjar. Tahun 1637-1650, Dipati Anta Kusuma bin Sultan Mustambillah merupakan sultan pertama di Kutaringin. Berlanjut sampai Kutaringin bergabung dengan RI.
Pada 17 Desember 1945, Sultan Kutaringin bersama rakyat, setelah lima bulan dari kemerdekaan RI pada Agustus, Sultan Kutaringin menggelar deklarasi di alun-alun (Lapangan Tugu), menyatakan bergabung dengan RI berdasarkan dokumen Komite Nasional Indonesia (KNI).
Kemudian sejak itu, berdasarkan Undang-Undang 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953, Kutaringin ditetapkan sebagai daerah Swapraja Kotawaringin. Artinya daerah yang masih menghormati adat istiadat, contoh seperti daerah istimewa Jogja.
"Ada banyak literatur, sekitar puluhan buku yang dapat menjadi literatur sejarah Kesultanan Kutaringin," kata Humas Silaturahmi Juriat Kesultanan Kutaringin, Agus Padi S kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.
Kotawaringin pemerintahannya terdiri atas Sultan (Zelfoestuurder atau kepala pemerintahan, Mangkubumi (Rijksbestuurder), PangeranLangeran Djaksa (lid Rijkraad), Pangeran penghulu dan bendahara, dan masih banyak lagi jajaran dalam susunan pemerintahan di masa lalu seperti saudagar-saudagar.
Saat ini, organisasi resmi yang ada di Kesultanan Kutaringin seperti Juriat, kekerabatan bosar, bukit indra kencana, juriat pangeran sukma negara Kesultanan Kutaringin, yayasan Istana Kutaringin dan masih ada yang lain. "Ada sekitar 10 organisasi atau yayasan yang ada di Kesultanan Kutaringin dan tetap terjaga menjalin silaturahmi," tuturnya. (*/c3/nto/bersambung)