PROKAL.CO,
NAMANYA Yuyun. Umurnya baru 14 tahun. Pelajar SMP. Korban tewas akibat kejahatan seksual 14 anak lelaki. Yang mayoritas pelajar juga. Sejatinya, para pelajar yang menjadi pelaku itu adalah korban juga. Mereka terpengaruh para pelaku yang sudah beranjak dewasa. Miris sekali.
Meski mayoritas mereka adalah korban, para pemerkosa itu tetaplah pelaku kejahatan seksual yang layak mendapat hukuman dan ganjaran setimpal. Hukum Kebiri tampaknya cocok. Bahkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) masih digodok. Sayang, beberapa pelaku sudah menjelang vonis. Kita tunggu ampuhnya Perppu itu.
Jika kita berada pada posisi sebagai keluarga atau orang tua Yuyun, seberat apapun hukuman yang dijatuhkan kelak, pasti tidak memuaskan. Tak sedikit, kita berpikir, nyawa ganti nyawa. Atau lebih tepat, para pelaku disiksa dahulu hingga merasakan derita dan sakit hati orang tua korban yang tak rela anaknya mendapat perlakuan sadis. Sendirian pula menghadapi derita saat mengalami kejadian tersebut. Tak seorang pun orang tua korban dapat merelakan hal itu.
Namun, masalah besar di balik kasus-kasus kejahatan seksual, sesungguhnya bukanlah pada pemerkosaan yang terjadi, tetapi minimnya perhatian orang tua pada perkembangan psikologis para pelaku, khususnya anak-anak. Kebanyakan orang tua melepaskan tanggung jawab perhatian kepada anak-anak saat mereka sekolah.
Orang tua merasa sudah menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua saat mereka sudah menyekolahkan anak-anak. Termasuk menyediakan dana pendidikan anak-anak. Orang tua menyerahkan penuh kepada pihak sekolah.
Karena keterbatasan, sekolah pun tak semaksimal diharapkan dapat mengawasi para peserta didik. Lebih-lebih untuk memproteksi perangkat komunikasi siswa yang semakin canggih. Hingga sulit menjamin anak-anak tidak menyaksikan hal-hal yang tidak layak tonton. Tentu tugas orang tua untuk mengamankan anak-anak dari hal-hal yang patut disensor.